PENGENDALIAN SYAHWAT MENURUT IMAM GHAZÂLÎ

PENGENDALIAN SYAHWAT MENURUT IMAM GHAZÂLÎ
Imam Ghazâlî mengetengahkan konsep pengendalian syahwat dapat dilacak di antaranya dalam kitab Ihyâ’ Ulûm al-Dîn pada Juz ketiga, yang dimulai pada halaman 77 (tujuh puluh tujuh) sampai dengan 104 (seratus empat). Halaman yang ditunjuk ini merujuk pada kitab yang kebetulan ada ditangan penulis terbitan Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tanpa tahun terbit. Karena itu halamannya mungkin berbeda dengan terbitan yang lain. 

Menurut Ghazâlî,

Perut itu pada hakekatnya adalah sumber segala nafsu syahwat dan tempat tumbuhnya segala penyakit dan bencana. Karena nafsu syahwat perut diikuti oleh nafsu syahwat farji dan kuatnya nafsu syahwat kepada wanita-wanita yang dikawini. Kemudian nafsu syahwat makanan dan perkawinan diikuti oleh kuatnya keinginan kepada kedudukan dan harta yang keduanya itu menjadi perantara kepada perluasan dalam wanita-wanita yang dikawini dan makanan-makanan.[1]

Menurut Ghazâlî, sumber segala dosa adalah syahwat perut, dan dari situlah timbul syahwat kemaluan. Karena itulah, Adam as. melanggar larangan Allah sehingga dikeluarkan dari surga, dan itulah yang menyebabkan seseorang mencari dunia dan menyukainya. 

Untuk itu menurut Ghazâlî, lapar merupakan hal yang utama dalam mengendalikan syahwat. Itulah sebabnya Rasulullah Saw menyuruh umatnya untuk memerangi syahwat dengan lapar dan haus, karena pahala dalam hal itu seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah, dan tiada amal yang lebih disukai Allah Ta'ala daripada lapar dan haus.[2]

Ibnu Abbas ra berkata bahwa Nabi Saw. Bersabda, "Tidaklah bisa masuk kerajaan langit, siapa yang memenuhi perutnya." Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri ra. bahwa Nabi Saw. bersabda, "Pakailah baju, minum, dan makanlah di tengah perut, karena ia adalah bagian dari kenabian."

Al-Hasan ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Yang terbaik di antara kamu kedudukannya di sisi Allah Ta'ala adalah yang paling lama laparnya dan paling lama berpikirnya, sedang yang paling dibenci Allah Ta'ala di antara kamu ialah setiap orang yang terlalu banyak tidur, terlalu banyak makan, dan terlalu banyak minum."

Nabi Saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta'ala membanggakan kepada para malaikat siapa yang sedikit makanannya di dunia.”

Allah berkata: “Lihatlah kepada hamba-Ku, Aku mengujinya dengan makanan dan minuman di dunia, lalu ia meninggalkannya karena aku. Saksikanlah, hai para malaikat-Ku, tidaklah ia meninggalkan suatu makanan, melainkan Aku menggantinya dengan beberapa derajat di surga."

Abu Sulaiman berkata, "Lebih baik aku tinggalkan makanan malamku daripada salat malam sampai Subuh."

Menurut Ghazâlî, seorang Syeikh berdiri di ujung soprah seraya berkata, "Hai para murid, jangan makan banyak sehingga kamu banyak minum, lalu kamu tidur banyak dan rugi banyak." Dengan rasa lapar orang dapat tekun menjalankan ibadah. Maka siapa merasa kenyang, ia pun malas dari melakukan ketaatan. Banyak makan menyebabkan banyak persiapan, seperti mencari, memasak, mencuci tangan, membersihkan makanan di gigi, dan sering masuk kamar mandi untuk buang air.

Diceritakan oleh As-Sariyyu dari seorang Syeikh bahwa ia menelan roti. Ketika ditanya, ia menjawab, "Antara mengunyah dan menelan bisa untuk membaca 70 tasbih, Maka menurut pengakuannya ia tidak mengunyah roti sejak 40 tahun."

Menurut Ghazâlî, siapa meyakini setiap jiwa sebagai permata tak ternilai, ia pun berhati-hati agar tidak menyia-nyiakannya. Termasuk faedah lapar adalah kesehatan jiwa dan badan, karena siapa sedikit makannya, sedikit pula penyakitnya. Termasuk faedahnya adalah mampu mengutamakan orang lain dan mencapai keutamaan.[3]

Menurut Ghazâlî, cara latihan untuk mengendalikan syahwat nafsu dan perut yaitu selain makanannya harus halal, ia harus melakukan tiga tugas, yaitu (1) menentukan banyak dan sedikitnya makanan; (2) menentukan cepat lambatnya mengunyah dan mencerna makanan; (3) serta menentukan jenis makanan.

Pertama, yaitu menentukan banyak dan sedikitnya makanan. Menurut Ghazâlî untuk mengurangi makanan maka caranya harus berangsur-angsur. Jika dilakukan secara drastis tanpa tahapan maka akan merusak kondisinya. Untuk itu harus memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan dirinya.

Jika ia makan setiap hari tiga sepotong roti, misalnya, maka dikuranginya sepertiga puluh potong setiap hari. Dalam sebulan berkurang sepotong roti dan dua bulan dua potong roti dan tidak memberatkannya. Keadaan ini berlangsung hingga mencapai kadar yang mencukupinya. Para siddiqin merasa puas dengan kadar makanan yang menegakkan kehidupan dan akal tanpa berlebihan.[4]

Nabi Saw. bersabda, "Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan yang menegakkan sulbinya."

Derajat kedua, mengendalikan nafsunya dengan latihan dalam sehari semalam hingga setengah mud, yaitu sepotong roti lebih sedikit dan mendekat kebiasaan Umar ra. karena beliau makan 7 atau 9 suap.

Derajat ketiga, mengendalikan nafsunya dengan latihan dalam sehari semalam hingga sebanyak satu mud, yaitu dua setengah potong dan ini melebihi sepertiga perut. Derajat keempat, melebihi satu  mud. Inilah puncaknya dan lebih dari itu sudah melampaui batas dan nyaris masuk dalam firman Allah Ta'ala, 

"Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan."  (QS. Al-A'raf: 31).[5]

Menurut Ghazâlî latihan-latihan terset bisa berbeda menurut perbedaan orang-orangnya, maka tidak dapat ditentukan secara kaku tetapi setiap orang harus memeriksa kondisi dirinya dan situasi yang ada di sekitarnya.

Menurut Ghazâlî bahwa Sahl berkata, "Andaikata dunia berupa darah yang segar, niscaya makanan orang mukmin dari darah itu halal, karena orang mukmin makan menurut kebutuhannya." 

Kedua, yaitu menentukan cepat lambatnya makan. Menurut Ghazâlî di antara murid-murid, ada yang berlatih dengan lapar, bukan dengan menentukan jumlahnya. Di antara mereka ada yang lapar selama 3 hari dan ada yang melebihi 43 hari. Ini dilakukan oleh banyak dari mereka seperti Sulaiman Al-Khawas, Sahl bin Abdullah, dan Ibrahiin Al-Khawas.

Diriwayatkan bahwa seorang ulama Sufi berkata kepada seorang rahib, "Barangsiapa lapar selama 40 hari, terlihat olehnya sebagian alam Malakut, yakni rahasia-rahasia Ilahiah." Seorang ulama dari kelompok ini menemui seorang rahib dan berdiskusi dengannya serta mengharap Islamnya.

Maka rahib itu berkata kepadanya, "Sesungguhnya Al-Masih pernah tidak makan selama 40 hari dan itu adalah mukjizat yang tidak terjadi, kecuali pada seorang nabi yang benar." Kemudian Sufi itu berkata kepadanya, "Jika aku sanggup tidak makan selama 50 hari, maukah Anda tinggalkan agamamu dan masuk agama Islam?" Rahib itu menjawab, "Ya." Maka Sufi itu tidak meninggalkan tempat itu dan tidak makan selama 50 hari. Sufi itu berkata lagi, "Aku akan menambah sampai 60 hari." Dan dilakukannya. Rahib itu merasa heran dan berkata, "Aku tidak menyangka ada orang yang dapat melebihi Al-Masih." Peristiwa itu menyebabkan Rahib tersebut masuk Islam.[6]

Menurut Ghazâlî, ini adalah derajat yang agung dan hanya dapat dicapai oleh seorang mukasyif. la disibukkan dengan penyaksian sesuatu yang memutuskannya dari tabiat dan kebiasaannya. la memenuhi nafsunya dalam kenikmatannya dan dibuat lupa oleh rasa lapar dan kebutuhannya sehingga datang kepadanya makanan rohani dari alam gaib. Itulah yang diisyaratkan dengan sabda Nabi Saw., "Aku tidur di sisi Tuhanku yang memberi makan dan memberi minum aku."

Derajat kedua, tidak makan selama dua hingga tiga hari dan itu sudah biasa. Derajat ketiga, makan sekali dalam sehari semalam dan ini yang paling sedikit.  Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri bahwa Nabi Saw., apabila makan siang, tidak makan malam. Dan apabila makan malam, beliau tidak makan siang. Nabi Saw. bersabda kepada Aisyah ra, "Janganlah kamu berlebih-lebihan, karena dua kali makan dalam sehari termasuk berlebih-lebihan."

Ketiga, menentukan jenis makanan. Menurut Ghazâlî, lapar yang terpuji adalah yang tidak membuat lalai dari mengingat Allah Ta'ala. Apabila melampaui batas, ia pun lalai, kecuali orang yang dikuasai syahwat yang besar sehingga melakukan itu untuk mematahkannya. Jika tidak begitu, maka sebaik-baik perbuatan ialah yang pertengahan. Kemudian untuk mematahkan syahwat ini ada dua kejelekan yang harus dihindari.

(1) Barangkali ia makan sendirian hingga tidak makan bersama orang-orang. Ini adalah syirik tersembunyi yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam perilaku munafik;

(2) Ingin dikenal sebagai orang yang sedikit makannya dan memelihara diri. Maka ia telah meninggalkan kejelekan yang ringan dan melakukan kejelekan yang lebih besar, yaitu mencari kedudukan dan ketenaran.[7]

Abu Sulaiman berkata, "Apabila timbul seleramu sedang engkau telah meninggalkannya, maka ambillah sedikit darinya dan jangan turuti keinginan nafsumu sehingga engkau telah menghilangkan syahwat dari dirimu. Engkau telah mengurangi nafsumu karena tidak memenuhi keinginannya untuk dinikmatinya. Dengan begitu, engkau telah menghilangkan syahwat dan menentang nafsu." 

Jakfar As-Shadiq bin Muhammad berkata, "Apabila timbul seleraku, aku melihat kepada diriku. Jika ia suka, aku pun memberinya makan dan itu lebih baik daripada mencegahnya. Jika seleranya sedikit dan ia menolaknya, maka aku menghukumnya dengan meninggalkan selera itu tanpa memberinya apa-apa. Ini adalah sebuah cara dalam menghukum nafsu atau selera (syahwat) ini." Siapa meninggalkan selera makan dan terjerumus dalam riya', maka ia seperti orang yang lari dari kalajengking dan pergi kepada ular.

Menurut Ghazâlî kenikmatan persetubuhan menguasai manusia karena dua faedah,

(1) Ia rasakan kenikmatannya, lalu mengiaskan kenikmatan akhirat dengannya, karena ia adalah kenikmatan tubuh yang terkuat jika kekal, sebagaimana api dan rasa sakit yang ditimbulkannya pada tubuh terasa sangat pedih;

(2) Kesinambungan keturunan dan wujud.

Akan tetapi, di samping kedua faedah ini terdapat kejelekan yang dapat membinasakan agama dan dunia, jika tidak dikendalikan dan tidak ditaklukkan serta tidak dikembalikan ke jalan yang wajar. Menurut Ghazâlî, memelihara diri itu terwujud bila seseorang sanggup melawan syahwat. Itu lebih utama dan ia adalah derajat siddiqin.[8]

Dalam konteksnya dengan pengaruh dunia (harta dan kedudukan), Ghazâlî dalam kitab Minhâj al-Â'bidîn menjelaskan bahwa dunia (harta dan kedudukan) pengaruhnya sangat besar, maka cara menolaknya yaitu dengan mengosongkan diri (hati) dari dunia dan zuhud (tidak terpancang) kepada dunia. Orang tersebut diharuskan mengosongkan hati dan zuhud terhadap dunia karena dua hal, yaitu: 

(1) Supaya ibadahnya bisa lurus, dan banyak. 

Karena, cinta dunia itu dapat melupakan diri dari ibadah, anggota tubuh luar akan sibuk mencari dunia dan anggota batin sibuk mengharapkan segala macam serta selalu mereka-reka. Keduanya mencegah ibadah. Sebab, tubuh itu hanya satu dan hati pun hanya satu, jadi kalau hati sibuk dengan sesuatu perkara, tentu terputus dari kebalikannya. 

Menurut Ghazâlî seorang hamba hendaklah mengetahui bahwa perumpamaan dunia dan akhirat itu bagaikan dua orang madu. Jika membuat senang yang seorang tentu menyebabkan benci yang lain. Dunia dan akhirat juga seperti Timur dan Barat. Bila condong kepada yang satu, pasti meninggalkan yang satunya lagi.  

(2). Kalau seseorang bisa zuhud, maka amalnya banyak harganya, besar kedudukan dan kemuliaannya.[9]

Menurut Al-Ghazâlî, hendaknya selalu berhati-hati terhadap nafsu yang senantiasa mengajak berbuat jelek itu. Karena, nafsu adalah musuh paling suka membuat madlarat, paling berat balaknya, paling sulit merawatnya, paling pelik penyakitnya dan paling sulit pengobatannya.

Keharusan berhati-hati terhadap nafsu itu disebabkan oleh dua hal. 

(1). Nafsu adalah musuh yang datang dari dalam diri sendiri. Pencuri, apabila dari dalam rumah, tentu sangat sulit disiasati dan amat menyusahkan.  

(2). Nafsu itu musuh yang disukai/dicintai. Manusia biasanya buta terhadap cela kekasihnya, hampir-hampir tidak dapat melihat cela kekasihnya itu. 

Manusia menurut Al-Ghazâlî akan menganggap baik setiap kejelekan yang datang dari diri (nafsu)-nya  dan hampir-hampir tidak dapat melihat celanya, padahal nafsu tetap memusuhi dan membuat  madlarat. Tidak memakan waktu lama, nafsu itu tentu akan menjerumuskannya ke dalam keterbukaan aib dan kerusakan, sedangkan ia tidak merasa, kecuali jika Allah menjaganya dan menolongnya mengalahkan nafsu, dengan anugerah dan rahmatNya.  

Menurut Ghazâlî yang bisa menundukkan nafsu dan melunakkan kesenangan nafsu itu hanya tiga, yaitu: 

1. Mencegah kesenangan nafsu. Karena, hewan tunggangan (kuda) yang nakal itu dapat melunak bila dikurangi makanannya. 

2. Membebani nafsu dengan ibadah yang berat-berat. Karena, khimar itu bila ditambah muatannya dan dikurangi makanannya maka menjadi tunduk dan menurut. 

3. Memohon pertolongan Allah Azza wa Jalla.[10]