Selingkuh itu Indah? Inilah Sisi-Sisi Gelap yang Seringkali Tak Terungkap CURHATAN


Pernikahan adalah sebuah perjalanan seumur hidup dengan orang yang sama. Terkadang muncul rasa jenuh dan bosan. Keinginan untuk mendapatkan variasi dengan berjalan bersama orang lain muncul ke permukaan. Beberapa orang memutuskan untuk selingkuh, demi sebuah variasi yang menghadirkan kembali getar-getar rasa yang selama ini sirna. Namun, selalu ada sisi-sisi gelap dari sebuah perselingkuhan. Inilah sisi-sisi itu.
ungkap Maureen terisak, saat kami bertemu di sebuah coffee shop di bilangan pusat Jakarta. Maureen seorang ibu muda cantik berusia kepala empat, dengan penampilan yang nampak jauh lebih muda daripada usia sesungguhnya. Ia lulusan perguruan tinggi terkenal di Amerika. Wajahnya kerap muncul di media massa sebagai istri pengusaha sukses dan kaya yang aktif dalam pelbagai aktivitas sosial. Maureen sendiri memiliki bisnis sampingan yang menghasilkan. Sekadar untuk aktualisasi diri, ujarnya. Dengan 3 anak yang beranjak remaja, sungguh Maureen merupakan potret kesuksesan masa kini.
Awal pernikahan Maureen dipenuhi dengan pertengkaran, sama seperti keluarga baru lainnya. Masih dalam masa penyesuaian. Bram, suaminya, pria yang berwatak keras, jauh dari romantis, dan cenderung suka memaksakan kehendak. Mungkin itulah kunci kesuksesan bisnisnya. Menjelang tahun ke-5 pernikahan mereka, Maureen bertemu dengan Edo, teman sekolahnya di San Fransisco dulu. Bermula dari chit-chat kenangan mereka, Maureen mulai intens berkomunikasi dengannya. Lama kelamaan mereka pun menjalin perselingkuhan. Pria perlente ini tahu persis cara membuatnya senang dan merasa spesial.


Selingkuh, Pemanis Hidup?

Edo sudah menikah dan memiliki 2 anak yang manis. Keluarga segala-galanya bagi pria tampan ini. Demikian pula dengan Maureen. Mereka berdua dari kalangan middle high-end, di mana uang bukan masalah, bahkan hanya berada di urutan ke sekian puluh. Perselingkuhan sekadar untuk keluar dari rutinitas dengan pasangan, yang menurut mereka sudah kehilangan getar-getarnya. Justru dengan adanya guilty feeling akibat perselingkuhan, yang tersimpan jauh di dalam sanubari, mereka merasa lebih bisa bertoleransi terhadap pasangan. Perhatian yang sengaja diciptakan lengkap dengan kejutan-kejutan manis, direkayasa untuk pasangan, agar mampu menutupi perselingkuhan. Hubungan dengan pasangan masing-masing justru jadi lebih romantis. 
Maureen tidak mempermasalahkan lagi saat merasa Bram terlalu keras atau kurang perhatian. Toh dia mendapatkan itu semua dari Edo saat mereka berkencan. Lokasi pertemuan tentu bukan di Indonesia, kadang di Hong Kong, Kuala Lumpur, Bangkok, atau Singapore, dengan alasan meetingatau kegiatan sosial. Pertemuan 2-3 hari dengan Edo cukup memuaskan kebutuhannya sehingga dia bisa menampilkan diri sebagai ibu, istri, dan wanita yang sempurna di rumah maupun di masyarakat. Yang penting, dijaga agar jangan sampai hamil. Semua aman, lancar, baik, dan hubungan dengan pasangan jadi lebih harmonis. Selingkuh hanya pemanis hidup, demikian prinsip mereka.
Hari-hari biasa, Maureen dan Edo juga tidak mengumbar kemesraan melalui komunikasi handphone.Semua kelihatan wajar. Terbungkus rapi selama 10 tahun. Bram mengenal Edo, demikian pula Maureen mengenal istri Edo, Mariska. Sesekali kedua keluarga ini bertemu, di pesta ulang tahun anak mereka, misalnya. Baik Bram maupun Mariska tidak merasa curiga ada perselingkuhan antara Maureen dan Edo.
Hingga Della, putri Maureen yang berusia 16 tahun ketahuan hamil. Dunia Maureen serasa runtuh berkeping-keping. Maureen merasa sangat bersalah: apakah ini hukum karma? Dia dihantui oleh pepatah, "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Anak tidak akan lari jauh dari perilaku orangtuanya.Perasaan berdosa yang selama ini terpendam, meledak bagaikan bom, menyebar ke segenap penjuru. Maureen dihantui ketakutan dan perasaan bersalah. Dia ingin lari. Ingin curhat, tetapi kepada siapa? Orang terdekat yang bersama-sama merasakan petaka ini? Bram? Tetapi dia tidak bisa mengungkapkan alasan beban beratnya! Serasa mau meledak. Ingin menghilang saja dia dari bumi ini.
Bram kecewa. Menyalahkan Maureen sebagai ibu yang tidak becus mendidik anak. Beban kian bertumpuk.
Tiba-tiba Maureen sangat membenci Edo.
Ingin rasanya ditumpahkan segala kekesalan, ketakutan, kepedihan, maupun kemarahannya kepada pria yang sudah menjadi selingkuhannya selama satu dasawarsa terakhir itu. Perasaan berdosa menekan serta menyelimuti hidupnya. Takut, resah, cemas, galau, semua bercampur-baur.
Dari kisah nyata di atas, apa yang bisa kita pelajari?

1. Komunikasi

Pernikahan adalah penyatuan dua pribadi yang berbeda. Berbeda karakter, pengalaman, latar belakang, dan berbagai perbedaan lainnya. Satu-satunya jalan untuk menyelaraskan adalah dengan membangun komunikasi yang intens dan tidak berhenti berusaha. Lari dari masalah, lalu membangun ‘kebahagiaan’ sendiri versi Maureen dan Edo, memang kelihatannya mampu menyelesaikan masalah dalam waktu singkat, tetapi pada akhirnya hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar.
Jangan takut terhadap gesekan yang timbul, karena justru itulah yang membuat kita dan pasangan kian ‘tajam’, mengalami proses pendewasaan diri dan saling memahami.


2. Hati Nurani Tidak Bisa Dibohongi

Perasaan bersalah yang ada di dasar hati Maureen seolah-olah bisa dibungkam di balik penampilannya yang kelihatan sempurna. Maureen mungkin bisa membohongi orang lain, tetapi tidak dirinya sendiri. Perasaan bersalah membuat Maureen seringkali bersikap terlalu ‘baik’ dan toleran berlebihan terhadap pasangan dan anak-anaknya.

[Image: Pure Peace]
demikian ungkapan orang bijak.


3. Variasi

Pernikahan itu membutuhkan usaha dan variasi. Keluar dari rutinitas dan menciptakan hal-hal baru, sesuatu yang wajib dikreasikan. Memiliki visi dan mimpi bersama, lalu bergandeng tangan untuk merealisasikan, menikmati serta mensyukuri pencapaiannya adalah cara cerdas untuk membangun ikatan cinta manis dalam pernikahan.
Ingat, hanya dengan pasangan kita memiliki kepentingan yang sebagian besar sama!
Bangun tidur, pasangan di samping kita. Anak dia, anak kita. Rumahnya, rumah kita. Jika pasangan kita kaya, maka kita pun kaya.

[Image: huffingtonpost.com]
Pasangan adalah orang yang akan tetap bersama kita hingga akhir hayat, tentunya worth ituntuk mengusahakan semaksimal mungkin, membangun persahabatan serta menciptakan kebahagiaan bersamanya.


4. Kebahagiaan

Sesungguhnya, tidak ada orang yang bisa membahagiakan kita, selain diri kita sendiri. Bahagia itu adalah sebuah pilihan. Kita bisa kesepian di tengah keramaian atau nelangsa di tengah pesta pora.
Lalu, bagaimana caranya untuk menciptakan kebahagiaan?

1. Berdamai dan terima diri sendiri

Kalau kita menyukai diri kita sendiri dan menerima diri kita apa adanya, maka kita tidak akan pernah merasa kesepian. Kita merasa senang hanya bersama dengan ‘pribadi’ yang ada di dalam diri kita sendiri. Kebahagiaan bukan dicari di luar tetapi di dalam.

2. Nurani yang tenang

Tidak ada kebahagiaan sejati yang bisa diraih, jika hati nurani kita tidak merasa damai. Bebas dari rasa bersalah, ketakutan, kemarahan.
Kedamaian diraih saat kita tahu, hidup kita berkenan dan selaras dengan kehendak Allah. Untuk itulah manusia lahir dan ada di dunia ini. Terlepas seseorang aktif membangun hubungan dengan Tuhan atau tidak, tetapi Tuhan senantiasa berbicara dalam sanubari yang terdalam. Itu tidak bisa dibungkam selamanya. Tidak bisa dipungkiri.

[Image: ributrukun.com]
Dunia boleh berubah, teknologi boleh makin canggih, umur bisa diusahakan diperpanjang, tetapi kematian tetap sesuatu yang pasti. Dan di atas dunia yang fana ini, rumusan kehidupan manusia tetap sama:
Mari ciptakan kebahagiaan sejati yang selaras dengan kehendak-Nya. Itu hukum yang berlaku kekal selamanya.


Baca Juga: